Dikisahkan ada seorang ibu yang merasa kesal kepada putrinya yang tidak lagi seperti dulu dalam menghormati tamu-tamunya, padahal ia termasuk seorang putri yang shalihah yang kuat dalam beragama.
Pada suatu hari ibu-ibu tetangga berkunjung ke rumahnya. Ibu pemilik rumah pun menyambut dengan baik kedatangan para tetangganya ini, tetapi anaknya hanya duduk terdiam dan tidak mau beranjak dari tempat duduknya guna menyambut para tamu. Sang ibu kesal melihat anaknya yang tidak mau berdiri menyambut tetangganya yang baik dan mulia itu. Terlebih ketika tetangganya mendekati putrinya sambil mengulurkan tangannya, namun Fatimah, demikian nama putrinya, pura-pura tidak tahu apalagi menyambut uluran tangan tetangganya itu. Ia hanya membiarkan saja sang tetangga yang berdiri mengulurkan tangannya beberapa saat, di depannya sang ibu begitu geram dan kebingungan. Hingga akhirnya ibunya pun berteriak, “Berdiri! Dan jabat tangannya..!”. Sang putri hanya membalas dengan pandangan tidak peduli, tanpa beranjak sedikitpun dari tempat duduknya, seolah-olah ia tuli dan tidak mendengar akan kata-kata ibunya.
Sang tetangga pun merasa sangat tidak enak terhadap perilaku sang putri tersebut yang dianggap telah menghina dan menginjak-injak harga diri kehormatannya. Maka seketika itu pula ia menarik tangannya kembali dan berbalik ingin segera pulang sambil mengomel, “Sepertinya, Saya mengunjungi kalian pada waktu yang tidak tepat”.
Saat para tamu mau beranjak pulang ke rumah, tiba-tiba sang putri ini melompat dari tempat duduknya, memegangi tangan tetangganya lalu mencium kepalanya sambil mengatakan, “Maafkan Saya, demi Allah Saya tidak bermaksud berbuat buruk kepadamu”. Sang putri ini kemudian menuntun tangan tetangganya tersebut dengan lembut, penuh rasa kasih sayang, dan penghormatan serta mengajaknya duduk sambil berkata, “Tahukah Engkau wahai Bibi, betapa Saya mencintaimu dan menghormatimu”.
Sikap aneh sang putri yang tidak dapat dipahami ini membuat perasaan hati tetangganya menjadi tenang, sementara sang ibu masih menahan amarahnya. Selang beberapa saat, para tetangga berpamitan pulang dan sang putri pun segera bangkit mengulurkan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegangi tangan kanan tetangganya sambil mengatakan, “Sudah seharusnya tangan kanan saya harus tetap terulur tanpa Engkau mengulurkan tanganmu kepadaku, agar aku dapat melunasi keburukan-keburukan apa yang telah Aku perbuat terhadapmu”. Sang tetangga langsung mendekap sang putri ke dadanya dan menciumi kepalanya sambil berkata, “Tidak apa-apa, anakku. Karena kamu telah bersumpah bahwa Kamu tidak bermaksud buruk kepadaku”.
Begitu sang tetangga telah pergi meninggalkan rumah, sang ibu langsung menegur putrinya dalam kemarahan yang tertahan dan bertanya, “Mengapa Kamu bertindak seperti itu?”.
Fatimah sang putri menjawab, “Saya tahu kalau Saya telah menyebabkan perasaan Ibu tidak enak, maafkan Saya, Ibu…”
Sang ibu lalu bertanya, “Ia mengulurkan tangannya kepadamu, tetapi mengapa Kamu tetap duduk, tidak berdiri, dan tidak menjabat tangannya?”.
Putrinya pun menjawab, “Engkau duhai Ibu, juga telah melakukan hal yang demikian”.
Ibunya pun berteriak dengan penuh keheranan, “Apa? Aku melakukannya?!”.
“Ibu melakukannya siang dan malam”, putrinya menjawab.
Ibunya semakin marah dan heran, “Apa? Aku melakukannya siang dan malam?!”.
“Betul, Ibu, Dia mengulurkan tanganNya kepada Ibu, tetapi Ibu tidak pernah menjabat tanganNya”, jelas sang putri.
Ibunya semakin marah dan tidak paham, “Siapa yang mengulurkan tanganNya kepadaku dan Aku tidak menyambutnya?!”.
Fatimah menjawab, “Allah, Bu, Allah Yang Maha Suci telah mengulurkan tanganNya kepada Ibu di siang hari agar Ibu bertaubat, Dia pun mengulurkan tanganNya kepada Ibu di malam hari agar Ibu bertaubat, akan tetapi Ibu tetap saja tidak mau bertaubat. Ibu tidak mengulurkan tangan kepadaNya”.
Sang ibu terdiam. Ucapan putrinya sungguh membuatnya terperanjat dan tertegun. Sang putri kemudian melanjutkan perkataannya, “Bukankah Ibu merasa bersedih ketika Saya tidak mengulurkan tangan untuk menjabat tetangga kita tadi? Dan Ibu khawatir jika ia berpersepsi buruk kepadaku? Duhai Ibu, Aku merasa bersedih setiap hari ketika mendapati Ibu tidak mengulurkan tangan untuk bertaubat kepada Allah Yang Maha Suci, yang telah mengulurkan tanganNya kepada Ibu di siang dan malam hari.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah membentangkan tanganNya di malam hari agar bertaubatlah orang yang berbuat kesalahan di siang hari, dan membentangkan tanganNya di siang hari agar bertaubatlah orang yang berbuat kesalahan di malam hari, hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya (Hadits Riwayat Imam Muslim).
Apakah Engkau mengetahui, duhai Ibu, Tuhan kita membentangkan tanganNya kepada Ibu, dua kali setiap harinya, sementara Ibu tetap tidak menyambut tanganNya dengan taubat”.
Tak terasa berlinanglah air mata dari kedua mata sang ibu. Sementara sang putri masih terus melanjutkan nasihatnya, “Saya sangat mengkhawatirkan Ibu, ketika Ibu tidak shalat, karena pertama kali yang akan ditanyakan kepada Ibu di hari Kiamat adalah shalat. Saya sangat bersedih ketika melihat Ibu keluar dari rumah tanpa menutup aurat yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah Ibu merasa tidak enak ketika melihat tindakanku terhadap tetangga kita? Saya, duhai Ibu, sangat merasa tidak enak di hadapan teman-temanku ketika mereka mempertanyakan kepadaku tentang keluarnya Ibu tanpa hijab dan tanpa memperhatikan aturan-aturan agama, sementara Saya adalah gadis yang berhijab”.
Maka air mata taubat semakin deras mengalir membasahi kedua pipi sang ibu dan putrinya pun ikut menangis karena tidak bisa menahan rasa haru melihat ibunya memperhatikan nasihat dan menerima kebenaran. Maka ia pun bangkit dan memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang yang amat dalam. Sementara ibunya dengan isak tangisnya mengatakan, “Aku bertaubat kepadaMu, Ya Rabb… Aku bertaubat kepadaMu Ya Rabb..”
Oleh: Sayyidil Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, Pengasuh Majelis Ilmu dan Dzikir Ar-Raudhah Solo.
Pada suatu hari ibu-ibu tetangga berkunjung ke rumahnya. Ibu pemilik rumah pun menyambut dengan baik kedatangan para tetangganya ini, tetapi anaknya hanya duduk terdiam dan tidak mau beranjak dari tempat duduknya guna menyambut para tamu. Sang ibu kesal melihat anaknya yang tidak mau berdiri menyambut tetangganya yang baik dan mulia itu. Terlebih ketika tetangganya mendekati putrinya sambil mengulurkan tangannya, namun Fatimah, demikian nama putrinya, pura-pura tidak tahu apalagi menyambut uluran tangan tetangganya itu. Ia hanya membiarkan saja sang tetangga yang berdiri mengulurkan tangannya beberapa saat, di depannya sang ibu begitu geram dan kebingungan. Hingga akhirnya ibunya pun berteriak, “Berdiri! Dan jabat tangannya..!”. Sang putri hanya membalas dengan pandangan tidak peduli, tanpa beranjak sedikitpun dari tempat duduknya, seolah-olah ia tuli dan tidak mendengar akan kata-kata ibunya.
Sang tetangga pun merasa sangat tidak enak terhadap perilaku sang putri tersebut yang dianggap telah menghina dan menginjak-injak harga diri kehormatannya. Maka seketika itu pula ia menarik tangannya kembali dan berbalik ingin segera pulang sambil mengomel, “Sepertinya, Saya mengunjungi kalian pada waktu yang tidak tepat”.
Saat para tamu mau beranjak pulang ke rumah, tiba-tiba sang putri ini melompat dari tempat duduknya, memegangi tangan tetangganya lalu mencium kepalanya sambil mengatakan, “Maafkan Saya, demi Allah Saya tidak bermaksud berbuat buruk kepadamu”. Sang putri ini kemudian menuntun tangan tetangganya tersebut dengan lembut, penuh rasa kasih sayang, dan penghormatan serta mengajaknya duduk sambil berkata, “Tahukah Engkau wahai Bibi, betapa Saya mencintaimu dan menghormatimu”.
Sikap aneh sang putri yang tidak dapat dipahami ini membuat perasaan hati tetangganya menjadi tenang, sementara sang ibu masih menahan amarahnya. Selang beberapa saat, para tetangga berpamitan pulang dan sang putri pun segera bangkit mengulurkan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegangi tangan kanan tetangganya sambil mengatakan, “Sudah seharusnya tangan kanan saya harus tetap terulur tanpa Engkau mengulurkan tanganmu kepadaku, agar aku dapat melunasi keburukan-keburukan apa yang telah Aku perbuat terhadapmu”. Sang tetangga langsung mendekap sang putri ke dadanya dan menciumi kepalanya sambil berkata, “Tidak apa-apa, anakku. Karena kamu telah bersumpah bahwa Kamu tidak bermaksud buruk kepadaku”.
Begitu sang tetangga telah pergi meninggalkan rumah, sang ibu langsung menegur putrinya dalam kemarahan yang tertahan dan bertanya, “Mengapa Kamu bertindak seperti itu?”.
Fatimah sang putri menjawab, “Saya tahu kalau Saya telah menyebabkan perasaan Ibu tidak enak, maafkan Saya, Ibu…”
Sang ibu lalu bertanya, “Ia mengulurkan tangannya kepadamu, tetapi mengapa Kamu tetap duduk, tidak berdiri, dan tidak menjabat tangannya?”.
Putrinya pun menjawab, “Engkau duhai Ibu, juga telah melakukan hal yang demikian”.
Ibunya pun berteriak dengan penuh keheranan, “Apa? Aku melakukannya?!”.
“Ibu melakukannya siang dan malam”, putrinya menjawab.
Ibunya semakin marah dan heran, “Apa? Aku melakukannya siang dan malam?!”.
“Betul, Ibu, Dia mengulurkan tanganNya kepada Ibu, tetapi Ibu tidak pernah menjabat tanganNya”, jelas sang putri.
Ibunya semakin marah dan tidak paham, “Siapa yang mengulurkan tanganNya kepadaku dan Aku tidak menyambutnya?!”.
Fatimah menjawab, “Allah, Bu, Allah Yang Maha Suci telah mengulurkan tanganNya kepada Ibu di siang hari agar Ibu bertaubat, Dia pun mengulurkan tanganNya kepada Ibu di malam hari agar Ibu bertaubat, akan tetapi Ibu tetap saja tidak mau bertaubat. Ibu tidak mengulurkan tangan kepadaNya”.
Sang ibu terdiam. Ucapan putrinya sungguh membuatnya terperanjat dan tertegun. Sang putri kemudian melanjutkan perkataannya, “Bukankah Ibu merasa bersedih ketika Saya tidak mengulurkan tangan untuk menjabat tetangga kita tadi? Dan Ibu khawatir jika ia berpersepsi buruk kepadaku? Duhai Ibu, Aku merasa bersedih setiap hari ketika mendapati Ibu tidak mengulurkan tangan untuk bertaubat kepada Allah Yang Maha Suci, yang telah mengulurkan tanganNya kepada Ibu di siang dan malam hari.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah membentangkan tanganNya di malam hari agar bertaubatlah orang yang berbuat kesalahan di siang hari, dan membentangkan tanganNya di siang hari agar bertaubatlah orang yang berbuat kesalahan di malam hari, hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya (Hadits Riwayat Imam Muslim).
Apakah Engkau mengetahui, duhai Ibu, Tuhan kita membentangkan tanganNya kepada Ibu, dua kali setiap harinya, sementara Ibu tetap tidak menyambut tanganNya dengan taubat”.
Tak terasa berlinanglah air mata dari kedua mata sang ibu. Sementara sang putri masih terus melanjutkan nasihatnya, “Saya sangat mengkhawatirkan Ibu, ketika Ibu tidak shalat, karena pertama kali yang akan ditanyakan kepada Ibu di hari Kiamat adalah shalat. Saya sangat bersedih ketika melihat Ibu keluar dari rumah tanpa menutup aurat yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah Ibu merasa tidak enak ketika melihat tindakanku terhadap tetangga kita? Saya, duhai Ibu, sangat merasa tidak enak di hadapan teman-temanku ketika mereka mempertanyakan kepadaku tentang keluarnya Ibu tanpa hijab dan tanpa memperhatikan aturan-aturan agama, sementara Saya adalah gadis yang berhijab”.
Maka air mata taubat semakin deras mengalir membasahi kedua pipi sang ibu dan putrinya pun ikut menangis karena tidak bisa menahan rasa haru melihat ibunya memperhatikan nasihat dan menerima kebenaran. Maka ia pun bangkit dan memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang yang amat dalam. Sementara ibunya dengan isak tangisnya mengatakan, “Aku bertaubat kepadaMu, Ya Rabb… Aku bertaubat kepadaMu Ya Rabb..”
Oleh: Sayyidil Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, Pengasuh Majelis Ilmu dan Dzikir Ar-Raudhah Solo.